Penjaga Makam


Banyak orang yang mulai memandangku dengan ironis, mereka yang bertemu denganku hanya dalam setahun 2 kali atau paling banyak 3 kali dalam setahunnya lebih suka memandangku dengan raut muka yang sungguh tidak menyenangkan untuk aku lihat lama-lama.
Sekedar memberikan uang untuk menyambung hidupku dan kemudian mengucapkan terima kasih, dan berlalu.
Pekerjaan ini bukanlah impian ataupun cita-citaku sedari kecil. Jika diturut aku sendiri tidak pernah ingin menjadi seperti ini awalnya, tetapi belakangan aku mulai mensyukuri setiap waktu yang kuhabiskan untuk membersihkan makam-makam yang ada dihadapanku ini. Dan berkawan dengan rasa hening dan sepi ketika tidak ada satupun kerabat sang mayit datang untuk menghantarkan do’a.
Perkenalkan namaku Jodi, sang penjaga makam. Dan umurku saat ini 45 tahun, sudah 10 tahun belakangan ini aku menjadi penjaga makan di samping rumahku.
Apa yang kamu tahu tentang hening? Apa kamu pernah merasakan tentangnya?
Jika kamu merasakan hening hanya karena putus cinta, atau berpisah seseorang yang kamu kasihi untuk sementara itu bukanlah hening yang sebenarnya. Atau mungkin ketika kamu berada disuatu tempat yang asing, tidak banyak suara ketika malam datang dan kamu merasakan perasaan resah yang juga kemudian membuatmu merasa hampa. Bukan itu hening yang sebenarnya.
Hampir setiap hari aku bekerja dari pagi menjelang sore untuk mencabut rumput yang mulai tumbuh disela-sela gundukan tanah, dan menyapunya untuk kemudian menjadikan tanah tersebut menjadi bersih. Tidak semua mayit yang ada didalam tanah ini aku kenali, tetapi sebisa mungkin aku mengirimkan do’a untuk mereka-yang makamnya aku bersihkan. Tidak jarang juga aku ditanya oleh anakku yang juga sering membantuku membersihkan makam tanpa ada rasa takut sedikitpun.
Namanya Bagas, usianya kini beranjak dewasa yang tahun ini juga resmi menggunakan seragam putih-biru. Dia anak sulungku yang biasanya juga aku memanggilnya dengan Mas.
“Pak, apa bapak kenal dengan yang dibawah nisan ini?”
“Tidak, kenapa memangnya, Mas?”
“Lantas kenapa bapak mengirimkan do’a untuknya?”
“Kasihan, Mas. Tidak setiap hari kerabatnya datang untuk mendo’akannya. Mereka datang setahun hanya satu atau dua kali, Mas. Selain itu.. hanya kita yang bertemu dengannya setiap hari. Padahal dahulu ketika mereka masih hidup, hampir setiap hari dia bercengkerama dengan keluarganya dan berbagi tawa dengannya. Sedangkan saat ini ketika dia sudah dipanggil, tidak ada lagi saat-saat seperti itu. Bener kan, Mas?”
“Iya, Pak. Apa mayit yang didalamnya tidak merasakan sedih ya, Pak? Kalau tidak bertemu dengan keluarganya setiap saat. Apa ya rasanya jadi sang mayit tersebut, Pak?”
“Mereka sudah dipanggil, Mas. Kalaupun mereka sedih, mereka sudah ada di sisi-Nya, Mas. Yang bisa dilakukan untuk mereka tidak sedih adalah do’a yang tidak terputus dari keluarganya. Makanya, kalau nanti bapak tidak ada kamu jangan berhenti untuk mendo’akan bapak ya, Mas. Karena kalau waktunya sudah tiba, hanya keheningan yang ada didalam tanah ini, Mas..”
Bagas mengangguk, ada banyak pertanyaan yang hendak dia tanyakan kepadaku. Tetapi dia memilih untuk tidak menanyakanku saat ini. Dia melanjutkan untuk mencabut rumput serta membawakan air dalam wadah kendhi untuk kemudian disiramkan diatas gundukan tanah yang ada dihadapannya.
Diantara makam-makam yang terjejer rapi, ada beberapa pohon asem yang tumbuh juga diantara sela-sela tanah yang ada di ruang lingkup makam. Sehingga terlihat rindang dari kejauhan.
Siang ini aku duduk dibawah pohon asem yang ada. Aku menyalakan sebuah korek gas untuk membakar satu batang rokok yang akan kuhisap dan kemudian aku menuangkan segelas teh untuk menemaniku diwaktu istirahat. Bagas pamit pulang untuk makan siang dirumah bersama Ibu dan Adiknya Thea.
Angin berhempus sepoi-sepoi, dan kembali keheningan yang kurasakan.
Tidak ada suara, tidak ada kegiatan, tidak ada lalu-lalang. Yang ada hanyalah kumpulan dari lebih 100 orang yang terkubur kemudian kembali menjadi tanah.
Apa yang telah mereka lakukan selama hidupnya, sebelum menjadi sekarang ini? Apa yang telah mereka tinggalkan selama mereka masih diberi waktu dan kesempatan selama mereka hidup? Apa ketika mereka dipanggil untuk pulang ke rumahNya sudah dalam keadaan siap?
Yang aku tahu selalu ada isak tangis ketika sang mayit diturunkan dari keranda untuk kemudian dipindahkan ke liang lahat dan dihadapkan ke kiblat. Yang aku tahu, suara terakhir sebelum semuanya tertutup oleh tanah adalah kumandang Adzan dari keluarganya dan suara tangis dari keluarga karena maut tidak akan pernah bisa ditebak kapan kehadirannya.
Ketika semua sudah tertutup rapi, hanya gelap dan hening. Keheningan yang sebenarnya adalah ketika kita sudah menghadap sang Pencipta hidup. Karena di dalam liang lahat tidak lagi ada suara riuh lalu-lalang kendaraan, tidak ada lagi suara merdu melodi lagu-lagu yang sering didengarkan, tidak ada lagi suara yang selalu membuatnya rindu dari keluarga dan orang yang terkasihi. Tidak ada lagi suara panggilan untuk kita beribadah yang dikumandangkan lima kali dalam sehari.
Yang ada hanya suara dari pertanggung jawaban kita selama di dunia. Apa yang sudah tangan dan kaki kita perbuat mereka yang akan menjawabnya. Selebihnya gelap dan hening.
Pergunakanlah setiap waktu yang ada untuk berbuat sebaik mungkin dan tidak perlu takut ketika saat-saat hening itu datang.
Dari pekerjaanku ini, aku bersyukur. Karenanya aku merasakan bagaimana nantinya apabila aku yang dipindahkan kedalam liang lahat. Setidaknya aku tidak terkejut dan ketakutan untuk menghadapinya.
Namaku Jodi, usiaku kini 45 tahun dan aku bangga menjadi penjaga makam dan juga menjadi sahabat terbaik dari sepi dan keningan yang ada setiap harinya.

Suka artikel ini ?

About Farid

Admin Blog

Mohon berkomentar Join This Site Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan