Sendirimu (tak) Berkesudahan



Seperti keinginan gw kemarin, pengen menulis perjalanan hidup. Semoga kedepannya konsisten. Semoga gw memang bukan lagi labil. Sempet bingung mau menulis dari mana?! Ya, harus menulis dari huruf pertama. Lalu terangkum jadi kalimat hingga sebuah cerita. Yang ada dalam pikiran gw pagi ini adalah Ibu dan masa kecil.
Dua tahun-an yang lalu, gw pernah menulis sesuatu tentang Ibu . Gw menggambarkan masa masa awal orang tua cerai. Seperti itulah masa kecil gw dulu, singkatnya. Dan sekarang gw pengen menulis banyak untuk melanjutkan apa yang gw tulis tersebut. Bukan curhat, bukan mengeluh, bukan mau pamer pada dunia bahwa gw punya kesedihan hidup yang lebay. Bukan. Karena gw bersyukur bisa mencapai tingkat kehidupan seperti sekarang, makanya gw mengenang dari mana gw mulai berjalan, menapakkan kaki dalam perjalanan panjang kehidupan namun singkat ini.
Gak terasa orang tua gw udah cerai 22 Tahun. Waktu yang hanya berbeda 6 tahun-an dengan keberadaan gw di dunia ini. 22 Tahun sudah gw gak melihat hangatnya kebersamaan kedua orang tua. Gak ada cerita menarik yang gw dengar semasa mereka muda. Nasib Ibu memang kurang beruntung.
Ibu adalah gadis kecil yatim piatu, dulunya. Ibu ditinggalkan oleh kedua orang tuanya pada saat masih duduk di bangku Sekolah. Ibunya meninggal saat masih kelas 4 SD dan Bapaknya meninggal saat duduk di kelas 1 SMP. Orang tua ibu yang gw sebut kakek nenek, yang gw gak tau bentuk dan rupa nya seperti apa kecuali pemakamannya, bukanlah keluarga yang punya harta berlimpah. Mereka gak punya warisan yang bisa ditinggalkan untuk anak-anaknya, terutama Ibu (anak ke 5 dari 8 bersaudara) dan ketiga adiknya yang saat itu masih kecil. Untuk melanjutkan hidup dan sekolah saja, Ibu menganyam tikar dari sejenis daun pandan, tapi berduri dan gak wangi. Di kampung gw banyak tumbuhan seperti itu yang hidup liar di sepanjang kali. Orang orang di kampung gw menyebutnya pandan berduri.
Ibu sekolah sampe SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas). Begitu juga dengan Bapak, sekolah sampe SMEA. Waktu SMP pun mereka satu sekolahan. Ibu saat itu cantik sekali. Walaupun pendiam dan pemalu, Ibu cukup dikenal karena kecantikannya. Rambutnya yang panjang hampir sepantat, tebal, hitam alami, adalah salah satu daya tarik yang membuat temen-temen cowoknya suka. Salah satunya, pemuda sombong yang adalah Bapak gw. Selama duduk di bangku SMEA, Ibu selalu digodain Bapak. Seperti apapun Ibu menghindar, Bapak selalu punya cara untuk mendekati walaupun seringnya frontal dan membuat ibu menangis. Sampe akhirnya mereka menikah.
Bapak berasal dari keluarga yang berkecukupan untuk kelas kampung gw. Walaupun orang tuanya pelit, tapi orang tuanya cukup punya banyak harta kekayaan yang bisa diwariskan ke anak-anaknya yang berjumlah 7 orang. Kecukupan kekayaan orang tuanya membuat bapak jadi frontal. Suka membuat ibu menangis tersedu dan melakukan hal hal yang melebihi batas kewajaran. Gak kasian apa gadis kecil yatim piatu diganggu mulu?
Entah seberapa besarnya cinta bapak ke ibu saat itu, dia memutuskan untuk menikah. Tapi apa yang terjadi? Orang tuanya bapak beserta keluarganya mengutuk pernikahan itu. “Untuk apa kamu menikahi gadis miskin seperti itu?”. Miris sekali. Pasti ibu saat itu sangat terpukul. Sudah menjalani hidup sebatang kara, juga harus mendapat perlakuan yang gak baik dari keluarga calon suaminya. *Dan gw nangis (lagi) di bagian ini*
Bapak meyakinkan Ibu. Tidak mempedulikan apa yang dikatakan oleh orang tua dan keluarganya. Bapak nekat menikahi Ibu tanpa persetujuan yang begitu berarti. Setelah menikah, Kakek  gak memberi modal hidup apa-apa ke bapak kecuali sepeda motor jadul. “Bapak hanya memodalimu sepuluh jari tangan, silakan kamu membangun hidupmu sendiri.” Ujar kakek ke bapak.
Bapak menjual motor tersebut untuk bisa sewa tempat tinggal sama ibu seadanya. Temen temen Bapak saat itu banyak yang keturunan Tionghoa. Semuanya pebisnis. Dari temen-temennya itu, bapak jadi punya keinginan untuk berbisnis. tapi gak punya modal. Akhirnya apa? Bapak sering berjudi. Betapa butanya bapak saat itu, yang penting bisa hidup enak apapun dilakukan. Judi kartu, judi pacuan kuda, adu ayam, dan togel yang saat itu merupakan judi legal. Bapak juga menjadi tukang foto acara pernikahan pernikahan di kampung. Sampe akhirnya bapak punya modal dan membeli rumah sendiri. Secara ekonomi, bapak sudah sangat berkecukupan.
Memang pada dasarnya pemuda sombong, setelah memiliki kekayaan sendiri Bapak mulai bermain hati dengan perempuan lain. Hebatnya, saudaranya Bapak mendukung untuk Bapak menikah lagi. Semenjak itu Ibu sering menjadi bulan-bulanan. Sering dipukuli. Sering itu terjadi di depan mata gw. Gw yang masih kecil hanya bisa menangis teriak melihat orang tuanya ribut, melihat ibunya mendapat siksaan. Apalagi saat itu Ibu sedang mengandung hampir melahirkan anak lagi, yang adalah adik gw.
Hancur sudah keluarga kecil yang dibangun dengan susahnya. Bapak menikah lagi saat ibu masih mengandung. Beberapa bulan setelah melahirkan, Ibu melarikan diri ke Jakarta ke tempat kakak pertamanya. Ibu gak tahan dengan perlakuan Bapak. Ibu pergi dengan adik gw yang masih bayi. Setahunan pergi, ibu kembali lagi. Ibu pikir keadaan membaik dan akan berkumpul dengan kami. Ternyata bencana susulan menyambut Ibu kembali. Rumah tempat gw, kakak adik, bapak dan ibu tinggal, tergantikan oleh Ibu baru. Bukan Ibu kedua, tapi Ibu ketiga. Ya, pemuda sombong yang gw sebut Bapak menunjukkan keangkuhannya. Ditinggal lari sama Ibu malah menikah lagi, nambah lagi, dan dibawa tinggal di rumah yang biasanya Ibu tempatin.
Ketika Ibu kembali dari Jakarta, Ibu mendapati istri ketiga Bapak di rumah. Ibu berantem hebat dengan istri barunya Bapak. Saat ibu sambil menggendong adik gw yang masih kecil. Ibu mengusir istri ketiganya Bapak. Tapi pemuda sombong yang gw sebut bapak itu datang dengan muka murka penuh angkuh, mengusir Ibu. Menyeret ibu keluar dari rumah. Orang orang sekampung memperhatikan apa yang terjadi di rumah gw. Mereka sedang menonton drama sinetron secara langsung tanpa perlu layar kaca. Gw dan kakak menangis sejadi-jadinya. Gak ada yang bisa kami perbuat saat selain menangis dan menyaksikan betapa beratnya kenyataan yang harus dialami kesekian kali oleh seorang Ibu yang di telapak kakinya membawa Surga. Pernikahannya hanya bertahan 10an Tahun. Menikah Tahun 79 menjelang Tahun 80, cerai pada Tahun 90. *Dan gw nangis lagi di sini*
Keluarga Bapak bersorak. Mereka seperti sedang memenangkan permainan dunia. Wanita malang, yatim piatu, kembali hidup terlunta-lunta. Anaknya yang masih bayi pun gak boleh dibawanya. Apalagi harta gono gini. Ibu, kenapa nasibmu segitu amat?
Setelah perceraian, Ibu tinggal numpang di rumah kakak kakaknya. Membantu membersihkan rumah, mencuci, mengurusi anak anak kakakknya. Hanya itu yang bisa dia lakukan. Menjadi pembantu di rumah kakaknya sendiri. Sesekali gw kabur dari rumah Bapak untuk menengok keadaan Ibu. Anak kecil yang sangat sayang sama ibunya yang malang, ibunya yang kembali sendiri.
Setelah 4 Tahun bercerai, Ibu akhirnya menikah lagi, secara sirih. Lelaki yang lebih muda darinya meminangnya. Ibu menerimanya. Berharap ada yang mengurusnya. Karena kakak kakaknya gak begitu bisa diandalkan untuk mengurusnya. Lelaki yang menjadi suaminya itu gak membawa apa-apa. Hanya membangunkan Ibu kios kecil sekaligus buat tinggal. Kios yang ukurannya gak lebih dari kamar kosan. Kios yang dibangun di samping rumah kakak suaminya. Numpang juga judulnya.
Setelah Ibu punya anak dengan suami barunya, suaminya Ibu direbut oleh adiknya Bapak yang saat itu masih perawan. Suami keduanya Ibu pun menikah dengan Adiknya Bapak dengan persta yang sangat meriah. Gw menjadi salah satu saksi pernikahan Tante dan Bapak Tiri yang sangat meriah itu, karena acaranya diadakan di tempat Kakek-Nenek.
Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Kebencian apa yang mereka tanamkan ke Ibu, hingga segala kebahagiaan Ibu direnggut. Ibu tak punya apa-apa tak punya siapa-siapa. Disorakin saat bercerai dengan Bapak dan dirampas suami keduanya setelah itu. Ibu hanya bisa menangis. Mau mengadu, ke siapa lagi dia harus mengadu selain pada Tuhan? Ibu diceraikan dengan mudahnya karena hanya dinikahi secara sirih. Gak lama kemudian Ibu dinikahi lagi oleh suami yang menceraikannya secara sirih untuk kedua kalinya. Selain Ibu masih cinta, Ibu benar-benar gak punya siapa-siapa. Ibu menerimanya kembali. Posisi Ibu menjadi istri kedua. Tetap sama, didatengin sesukanya sama Suaminya itu. Tak ubahnya istri simpanan, Ibu diperlakukan.
“Kepada Ibu yang terlalu tegar di sana, aku di sini dapat merasakan apa yang Ibu rasakan. Aku dapat meniru tetesan air matamu. Aku dapat membayangkan perihnya hati yang teriris pengkhianatan dan kesia-siaan. Aku tak akan membiarkanmu sedih, sendiri. Teruslah tersenyum seperti apa yang kau ajarkan kepada kami anak-anakmu. Love you, Ibu.”
Gw selalu berterimakasih kepada Tuhan. Hanya dengan menulis, gw bisa mengobati kerinduan gw untuk menangis. Iya, gw sangat rindu, bahkan sempat lupa caranya menangis. Gw takut hati gw jadi sombong, sesombong Bapak ketika dia masih berjaya dan belum menyesali kelakuannya.
Suka artikel ini ?

About Farid

Admin Blog

1 komentar:

Click here for komentar
Terima Kasih Sudah Berkomentar
25 Februari 2013 pukul 11.16

wah sedih nih cerita nya,...

Selamat agen bola dapat PERTAMAX...! Silahkan antri di pom terdekat heheheh...
Balas

Mohon berkomentar Join This Site Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan