See Me On The North Lane


Namaku Alena. Sepanjang yang aku ingat, tiap petang aku selalu menunggu kereta di Terminal Utara. Hiruk pikuk stasiun di sore hari adalah hiburan tersendiri untukku. Sejak dulu aku memang gemar mengamati orang-orang di sekitarku. Dan di jam pulang kerja seperti ini, frustasi, amarah, kegembiraan, kecerobohan, dan romansa tersaji di depan mata.
Namaku Dimitri. Setiap hari sepulang dari kantor, aku selalu menyempatkan untuk singgah ke toko bunga di seberang jalan. Bukan, aku membelinya bukan karena aku ada kencan setiap malam. Tapi aku bisa mengatakan bahwa aku membelinya untuk orang yang sangat aku kasihi.
Aku tak ingat sudah berapa lama aku duduk di kursi tunggu terminal ini. Aku hanya ingat memandangi lalu lalang orang yang berjalan di depanku. Mungkin beban pekerjaan di kantor membuatku sedikit kebingungan. Tapi satu hal yang aku ingat, pertengkaran dengan kekasihku malam sebelumnya.
Perasaan bersalahku rasanya tidak akan mungkin dapat dihilangkan. Tak akan habis waktu di dunia untuk mengikis penyesalan yang membebani hati dan perasaan ini. Mengapa aku bisa begitu egois, aku masih tak mengerti. Tapi penyesalan hanya datang di akhir cerita. Dan ceritaku ini adalah cerita tanpa tepi.
Hari semakin malam, tapi kekasihku belum datang juga. Aku memeriksa telepon selular-ku. Di sana ada pesan darinya tak lama setelah ia pergi meninggalkan apartmen kami. Ia meminta maaf dan hendak bertemu denganku keesokan hari di tempat biasa. Aku langsung membalas pesannya saat itu, menuliskan bahwa aku tidak ingin bertemu dengannya lagi. Tapi kini ada penyesalan, mengapa aku harus begitu emosional padanya malam itu. Aku pun terus menunggu.
Bila saja waktu itu aku membicarakan semuanya secara tenang. Andai saat itu emosi tidak mengambil alih semua logika. Tapi yang berlalu biarlah berlalu. Bunga kesukaannya telah ada di genggaman, akupun melangkah menuju tempat kita biasa bertemu. Mungkin kepedihan di hati ini dapat menguap dalam tiap langkah.
Aku masih menunggu. Aku masih menunggu senyumannya padaku saat ia menuruni tangga terminal. Senyumannya yang begitu menenangkan hati di saat segala beban kehidupan terasa begitu menghimpit. Oh Dimitri, kenapa aku begitu terpancing amarah saat itu. Hanya hal sepele yang semestinya dapat kita selesaikan malam itu juga. Kini aku merindumu.
Oh Alena, betapa besar rinduku padamu. Apabila kamu bisa mendengarkanku saat ini, maafkan aku sayang.
Malam semakin gelap, dingin semakin menembus jaketku. Pemberian Dimitri yang sengaja aku kenakan malam ini. Aku ingin dia tau aku menyesal dan aku ingin dia kembali. Tapi aku memutuskan untuk melangkah. Mungkin Dimitri mengubah keputusannya. Mungkin kemarahannya begitu besar hingga ia masih belum mau menjumpaiku malam ini. Namun tiba-tiba rasa dingin itu berubah menjadi rasa perih di sekujur tubuhku. Dan selanjutnya hanya kegelapan yang menyelimuti.
Dear Alena, sampai saat ini aku begitu menyesal. Akan kebodohanku malam itu dan terutama akan harga diriku yang menolak untuk mencoba bertemu denganmu di malam sesudahnya. Harusnya aku tetap berusaha memperbaiki hubungan kita, terlepas akan apa pun yang telah terucap antara kita berdua. Sudah dua bulan sejak engkau pergi meninggalkan kami selamanya, dan tiap malam aku masih menangisi kepergianmu. Semoga bunga-bunga yang kusimpan tiap sore di tempat ini dapat menghiburmu sayang. I love you…
Namaku Alena. Sepanjang yang aku ingat, tiap petang aku selalu menunggu kereta di Terminal Utara. Hiruk pikuk stasiun di sore hari adalah hiburan tersendiri untukku.
This is a work of fiction. Names, characters, places and incidents either are products of the author’s imagination or are used fictitiously. Any resemblance to actual events or locales or persons, living or dead, is entirely coincidental.
Suka artikel ini ?

About Farid

Admin Blog

Mohon berkomentar Join This Site Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan