Menjadi Jembatan


Menjadi Jembatan

"Li, kamu ini gimana, sih?! Yang host ketemuan itu kan kamu. Kenapa gak terlaksana?" Tanyaku penasaran. Lili menjelaskan di ujung telpon, "Gini, lho, Lad. Sebenarnya minggu lalu aku udah tetapin, tapi gak ada yang bisa. Elo tolong dong atur. Capek gue." Langsung aku berang. "Maksud elo? Ini acara elo, terus elo undang gue, terus gue yang ngajak-ngajakin temen-temen?" Di seberang sana, aku yakin Lili senyum-senyum kecil.
"Ya, iyalah. Elo. Abis, gue yang ngatur pada gak bisa!"
Bingung bin heran. Lili teman semasa kecilku itu, memang sudah tiga bulan yang lalu kudengar kabar selentingannya ingin "ngopi-ngopi cantik" (pinjem istilah simbok Venus). Tapi, nah itu dia, tiada kepastian apapun kapan pertemuan itu terjadi. Begitu mendengar dari teman-teman lain berita yang tak jelas ujungnya, aku jadi rada geregetan juga. Apa sih susahnya mengatur waktu bersama? Bersama. Bersepuluh orang! Bukan beratus orang.
Alih-alih berdebat panjang, otakku mulai bekerja saat pembicaraan berakhir. Mencari daftar nama dan ponsel mereka. Mendraft isi SMS yang akan dikirimkan. Meminta persetujuan Lili. Setelah Lili setuju barulah satu per satu dari mereka kukirimkan SMS. Dua jam kemudian, delapan dari mereka confirm membalas SMS akan hadir. Dan silahturahmi ngopi-ngopi pun terjadilah. Berkumpul. Done!
Hal sepele. Menjadi "jembatan" alias penghubung. Tapi tidak sesepele kelihatannya. Karena aku tahu menjadi jembatan, seberapa pun pendeknya jembatan, harus mau berkorban dilindas kendaraan yang melintas di atasnya. Terinjak pejalan kaki. Truk kecil, sedang dan besar. Roda empat, enam, empat belas! Sepeda motor, sepeda tukang jamu, sepeda balap. Tak perduli pagi hari, siang, malam atau pun di kala subuh nan gelap gulita. Apa pun. Kapan pun.
Begitu juga menjadi "jembatan" bagi orang lain. Harus ikhlas berkorban menghabiskan waktu mengirim SMS, mengeluarkan pulsa dari kantong pribadi, mengingatkan janji, membujuknya manakala dia keberatan hadir lantaran alasan kecil, meyakinkan manfaatnya silahturahmi itu, memastikannya mereka tahu tempatnya (maklum, kadang ada juga yang tak tahu lokasi).
Lihatlah Jembatan Semanggi. Betapa tua usianya. Betapa berat beban yang harus ditanggungnya dari jutaan kendaraan yang lalu lalang. Meskipun demikian, jutaan kendaraan masih saja melintas di atasnya. Mengapa? Karena orang telah menitipkan kepercayaannya kepadanya. Bahwa mereka akan sampai dengan selamat di ujung jembatan yang satu.
Jika jembatan itu megah namun rapuh, orang pun akan berfikir dua kali untuk menyeberanginya. Begitu juga dengan menjadi "jembatan" bagi orang lain. Jika kita tidak bisa dipercaya, hanya akan dianggap angin lalu.
Will you be a bridge for others? Gak digaji sih memang tetapi Tuhan Maha Tahu... Kalau kata pepatah orang Inggris bilang nih:
"Let every man praise the bridge that carries him over"


Suka artikel ini ?

About Farid

Admin Blog

Mohon berkomentar Join This Site Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan