BomGiliran Amat
menangis di depan televisi. Ia meratapi korban teroris yang sudah meledakkan
bom di J.W. Marriott dan Ritz-Carlton Hotel, di Jakarta. Pagi 17 Juli yang
tenang dan indah sejak berlangsungnya Pemilu 2009 yang damai dan mendapat
banyak pujian dari mancanegara, kontan buyar.
Pasar modal tertegun
walaupun tak sampai guncang. Presiden SBY yang memberikan pidatonya pun sempat
terdiam, bagai menahan kepedihan untuk tidak menangis, mengingat ekonomi yang
sudah membaik dan kedamaian yang mulai tumbuh menjadi rontok. Bahkan, klub
sepak bola Manchester United yang direncanakan datang hari Sabtu dan menginap
di hotel yang terkena bom, membatalkan laganya dengan PSSI All Star.
"Aku heran masih
ada saja orang yang menginginkan negeri kita ini kacau," kata Amat kepada
para tetangga yang bergunjing di tepi jalan. "Aku heran ada orang yang
tega membunuh manusia lain dengan tanpa peduli. Bukan hanya sembilan nyawa yang
sudah jadi korban, seperti yang aku dengar di televisi, tetapi ribuan bahkan
jutaan. Orang-orang itu punya anak, istri, keluarga, famili, dan negara. Aku
yang jauh dari Jakarta dan tidak kenal kepada korban, merasa ikut kehilangan,
karena kematian itu berarti juga kematian perdamaian, ancaman langsung kepada
nyawa kita!"
Para tetangga manggut-manggut.
Seorang pemuda menjawab.
"Itulah politik,
Pak Amat."
"Politik?"
"Ya. Apa yang
terjadi tidak bisa dilihat dari apa yang kejadian di depan mata kita saja, Pak
Amat. Harus dihubungkan dengan sebab musababnya yang paling jauh dan tujuannya
yang paling jauh. Dan mungkin sekali bagi orang yang kurang pengetahuan seperti
kita, hubungan itu sama sekali tidak ada. Bukan karena tak ada, tapi karena
kita sudah tidak mampu merasakan, karena tidak melihatnya."
Amat terkejut.
"Maksudnya?"
"Ya sudah saya
katakan tadi, ini politik."
Amat penasaran. Dia
mulai marah.
"Artinya apa kalau
itu politik?"
"Tidak perlu ada
artinya. Ini hanya untuk mengingatkan orang untuk kembali kepada apa yang sudah
dilupakan!"
"Apa yang sudah
dilupakan?"
"Keadilan dan kebenaran."
"Keadilan siapa?
Kebenaran siapa?"
"Keadilan dan
kebenaran mereka yang dilupakan!"
"Dengan cara
menempuh jalan yang tidak adil dan tidak benar?"
"Bukan jalannya
yang harus dinilai, tapi tujuannya Pak Amat!"
"Itu namanya
menghalalkan segala cara!"
"Itu kan kata Pak
Amat."
"Jadi Anda setuju
Hotel Marriott dan yang satu lagi itu dibom? Anda setuju Bali dua kali
dibom?"
Mata Amat berapi-api.
Orang itu tidak menjawab. Dia buru-buru pergi.
"Teroris!"
umpat Amat. "Anarkis!"
Tangan Bu Amat lalu
membelai pundak Amat.
"Sudah Pak, jangan
terlalu dijiwai nanti bludrek-nya kumat!"
Amat menarik napas
panjang.
"Aku heran, kenapa
orang bisa dicuci otaknya sampai segalanya menjadi terbalik-balik. Masak dia
menyuruh kita melupakan bom yang membunuh orang ini, lalu melihat sebab awalnya
yang tidak kita tahu, lalu memikirkan tujuan akhirnya yang kita juga tidak
tahu. Jangan-jangan dia sendiri juga tidak tahu!"
"Ya namanya juga
otaknya sudah dicuci!"
"Gudang dicuci
memang bisa kosong. Pakaian dicuci pemutih juga bisa kehilangan warna. Tetapi
masak manusia yang sudah diisi oleh pendidikan, susila, budi pekerti bahkan
agama, bisa dicuci? Sebersih-bersihnya dicuci pasti nuraninya masih ada!
Kecuali memang orangnya sakit!"
"Ya itu dia.
Makanya mereka milih-milih siapa yang harus dicuci. Tak semua otak bisa
dicuci!"
"Tetapi ternyata
sekarang semua orang bisa dicuci otaknya, Bu! Bukan hanya yang buta huruf, yang
doktor pun bisa dicuci. Jadi, kita memang sudah kehilangan nurani. Kita semua
sudah memasuki zaman kaliyuga! Kita semua sudah edan!"
Bu Amat
menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia memanggil Ami.
"Coba tenangkan
bapakmu Ami, pikirannya sudah ngelantur lagi."
Ami melirik bapaknya.
Mata Amat masih terus tertancap ke layar kaca mengikuti laporan sekitar Bom
Marriott 2. Kadang-kadang dia ngomong sendiri.
"Ayolah Ami,
jangan biarkan bapakmu begitu!"
"Habis Ami harus
ngapain?"
"Ya ajak bapakmu
jangan melihat segala sesuatu dari buruknya saja, ambil segi baiknya."
Ami terperanjat.
"Segi baiknya? Apa
ada segi baiknya dari tindakan terorisme membom hotel dan membunuh orang yang
tidak bersalah? Ibu kok jadi ikut-ikutan jadi korban cuci otak?!"
Sebaliknya dari
menemani bapaknya, Ami lalu masuk ke kamar mandi dan menyanyikan lagu Slank
dengan seenaknya
"Inikah demokrasi,
setiap orang boleh berbuat seenak perut sendiri …."
Bu Amat tertegun.
Waktu Bom Bali yang
pertama dia sangat terguncang. Takut, ngeri, merasa terancam dan berhari-hari
tidak enak makan. Pada kejadian Bom Bali Kedua, ia memang masih tertekan, tapi
segalanya kemudian menjadi biasa. Setelah itu, mendengar cerita bom dan
terorisme di mana-mana, ia sama sekali tenang. Seakan-akan semuanya itu memang
bagian dari aksesoris kehidupan politik.
Ketika muncul berita
Bom Marriott 2, ia sempat terdiam sebentar. Matanya menancap ke televisi.
Tetapi kemudian ia tidak merasakan apa-apa lagi, karena banyak hal lain yang
masih harus diperhatikan. Kematian si Raja Pop Michael Jackson masih hangat.
Banyak peristiwa aneh di sekitar Pemilu 2009 yang menyangkut para caleg gagal,
masih seru. Perhatiannya pada Bom Marriott 2 memang jadi kurang --untuk tidak
mengatakan sama sekali tidak ada.
Ia tidak tahu mengapa
ia menjadi seperti beku. Mungkin karena begitu banyak yang sudah terjadi sejak
menjelang reformasi. Penculikan. Orang hilang. Bencana alam. Korupsi. Manusia
makan mayat. Ibu membunuh anaknya. Anak dijual oleh ibunya. Teror dan bom di
mana-mana.
Dulu, suami atau
anaknya sakit saja ia sudah menangis. Mendengar orang menyanyikan Indonesia
Raya di saat pengibaran bendera pada upacara peringatan 17 Agustus, ia bisa
mengucurkan air mata.
"Hidup semakin
keras, manusia menjadi semakin tabah. Kalau tidak begitu, kita semua akan
kalah," bisik Bu Amat menjawab pertanyaannya sendiri.
Tiba-tiba terdengar
Amat mengumpat di depan televisi.
"Kurang ajar!
Bangsat!!"
Sebuah pikiran mendadak
menukik ke dalam kepala Bu Amat. Ia terkejut dan jadi gemetar. Benarkah ia
menjadi lebih baik? Apa betul dengan menjadi lebih keras orang bertambah kuat?
Apakah air mata, tangis, dan haru itu tanda kelemahan? Benarkah berhenti
menangis, membutakan mata kepada apa yang ada di sekeliling adalah kiat untuk
hidup selamat.
Bu Amat terpesona. Ia
cepat-cepat menilai kembali dirinya. Melihat di mana ia sedang berdiri. Lalu ia
melihat dirinya di atas sebuah bukit. Di puncak bukit yang bergetar. Sebentar
lagi ia akan melayang turun dan terhempas ke lembah yang gelap di sana.
"Kurang ajar!
Bangsat!" terdengar umpat Amat lebih keras.
Bu Amat tersentak.
"Aduh, jangan
-jangan aku sendiri yang sudah kena cuci otak, karena menganggap semua bom-bom
itu sudah biasa," bisik Bu Amat dengan terkejut. "Jangan-jangan aku
yang sudah dimatikan rasa oleh cuci otak itu!"
Perlahan-lahan Bu Amat
mendekati suaminya yang masih terus melotot di depan televisi. Ia lupakan dulu
curhat La Toya, kakak perempuan Michael Jackson yang merasa yakin adiknya mati
dibunuh. Ia lupakan dulu Bom Bali 1 dan 2 yang menelan ratusan korban. Ia
lupakan tsunami yang sudah melalap lebih dari seratus ribu manusia. Ia hanya
memandang ke satu titik. Layar kaca. Bom Marriott 2.
Bu Amat melihat darah.
Anggota badan manusia berserakan. Kepala, tangan, kaki, semua terpisah dari
tubuhnya. Isi perut terburai. Memang bukan 200 atau 100 ribu, tapi hanya
sembilan. Tapi itu darah dan isi perut yang sesungguhnya.
Ia merasa darah dan isi
perutnya sendiri yang terburai. Kepala, tangan, dan kakinya yang terputus dari
badan. Begitu saja rasa ngeri, takut, dan putus asa serentak menggebrak dan
mematahkan seluruh benteng pertahanan yang sudah membuatnya beku.
Tak kuasa lagi menahan
diri, Bu Amat menjerit.
"Tolooooongggggggggggg!"
***
Jakarta, 17 Juli 2009
(Menjelang pukul 8.00
WIB, bom meledak di J.W. Marriott dan Ritz-Carlton Hotel)
Mohon berkomentar Join This Site Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon